Tuesday, September 21, 2010

Mother Teresa : The Journey of Charity

"By blood, I am Albanian. By citizenship, an Indian. By faith, I am a Catholic nun. As to my calling, I belong to the world. As to my heart, I belong entirely to the Heart of Jesus."

Kutipan ini membuatku sangat tersentuh pada sosoknya yang rendah hati dan penuh karisma. Bunda Teresa, bagiku adalah tokoh sepanjang masa yang akan selalu dikenang dan menginspirasi dunia sampai kapanpun juga. Dihadapan lukisan super-besar Bunda Teresa yang tergantung di lobby kampusku, aku menuliskan kembali kisah hidup Bunda Teresa ini berdasarkan biografi yang pernah aku baca.

Agnes Bojaxhiu, begitulah nama aslinya.Dilahirkan pada tanggal 26 Agustus 1910 di kota Skopje, Albania, anak bungsu dari 3 bersaudara ini besar dalam keluarga Katolik yang merupakan kelompok minoritas di negaranya. Ayahnya adalah seorang kontraktor yang juga aktif di dunia politik. Sayangnya, Ayah Agnes, Nicholas Bojaxhiu harus meninggalkan keluarganya dalam usia yang relatif muda, 48 tahun.

Mau tak mau hal tersebut membuat sang Ibu, Dranafile Bernie, harus menopang kehidupan keluarga. Perjuangan sang Ibu ini sangat menginspirasi Agnes kecil, terutama karena di tengah-tengah kesulitan hidup, Ibu Agnes selalu mengajarkan agar Agnes selalu beriman kukuh, senantiasa percaya dan berpegang pada kehendak Tuhan. Berkat sang Ibu juga, kehidupan rohani semasa Agnes kecil sangat tertanam dengan kuat. Agnes juga sangat aktif dalam perkumpulan doa yang disebut persekutuan Bunda Maria. Agnes pun menjadi dekat dengan Pater Jambrekovi, yang mengajaknya untuk bertanya pada Tuhan Yesus yang tergantung di kayu salib,

”Apakah yang telah aku lakukan untuk Kristus, apakah yang sedang aku lakukan untuk Kristus, dan apakah yang akan aku lakukan untuk Kristus?”

Ketika usianya 14 tahun, Agnes sudah tahu ke mana ia akan pergi mengabdikan hidupnya : India. Itu terjadi setelah ia mendengar cerita tentang karya suster-suster Loreto dari Irlandia, yang juga bekerja di Kalkuta. Di usianya yang ke 18, Agnes telah menjadi anggota biara Loreto di Irlandia, dan dari sanalah ia dikirim ke India.


Sesudah 2 tahun novisiat dan mengikrarkan kaul-kaulnya, iapun resmi menjadi seorang biarawati Loreto dengan nama Maria Teresa. Sebelumnya, Bunda Teresa juga pernah berkarya sebagai pengajar di sekolah Entally. Walaupun begitu, tidak begitu banyak orang yang tahu tentang kehidupan Bunda Teresa selama mengajar di Entally, kecuali bahwa ia adalah seorang suster asal Yugoslavia.

Bunda Teresa sendiri memang tidak suka berbicara tentang dirinya sendiri. Alasannya, semasa hidup Yesus sendiri tidak ada yang menulis tentang-Nya. Padahal Kristus telah melakukan karya yang paling agung di dunia. ”Kita hanya menjalankan bagian kita yang kecil ini, sesudah itu semua akan berlalu,” begitulah kerendahan hati Bunda Teresa.
Pada tanggal 17 Agustus 1948, untuk pertama kalinya Bunda Teresa mengenakan sari putih dengan pinggiran garis-garis biru. Ia keluar dari Biara Loreto yang amat dicintainya untuk memasuki dunia orang-orang miskin. Ia mengunjungi keluarga-keluarga serta merawat orang-orang yang tergeletak sakit di pinggir jalan. Setiap hari ia memulai hari barunya dengan Ekaristi, kemudian pergi dengan rosario di tangan, untuk mencari dan melayani Dia dalam “mereka yang terbuang, yang teracuhkan, yang tak dikasihi”. Setelah beberapa bulan, ia ditemani oleh, seorang demi seorang, para pengikutnya yang pertama.

Agar dapat memenuhi kebutuhan kaum miskin baik jasmani maupun rohani dengan lebih baik, Bunda Teresa membentuk Kongregasi Para Biarawan Misionaris Cinta Kasih pada tahun 1963. Ia juga membentuk Kerabat Kerja Bunda Teresa, yaitu orang-orang dari berbagai kalangan yang mau berbagi semangat doa, kesederhanaan, kurban silih dan karya sebagai pelayan cinta kasih. Semangat ini lalu mengilhami terbentuknya Misionaris Cinta Kasih Awam. Dalam seluruh karyanya, Bunda Teresa selalu sadar, bahwa lebih dari orang-orang lain, orang-orang miskin dan melarat itu membutuhkan iman kepada Tuhan. Ibu Teresa sendiri mengatakan, “yang paling dibutuhkan oleh orang-orang melarat ialah perasaan bahwa mereka dibutuhkan. Kebutuhan ini bahkan lebih daripada kebutuhan akan makanan, pakaian dan perumahan.”

Ia memulai pelayanannya dengan membuka sekolah pada 21 Desember 1948 di lingkungan kumuh. Karena tidak ada dana, ia membuka sekolah terbuka di sebuah taman. Di sana ia mengajarkan pentingnya hidup sehat, juga membaca dan menulis pada anak-anak miskin. Selain itu, berbekal pengetahuan medis, ia juga membawa anak-anak yang sakit ke rumahnya dan merawatnya.

Tuhan memang tidak pernah membiarkan anak-anak-Nya berjuang sendirian. Inilah yang dirasakan oleh Bunda Teresa saat perjuangannya mulai mendapat perhatian. Tidak hanya dari individu-individu, melainkan juga dari berbagai organisasi gereja. Selama tahun-tahun berikutnya, dari semula dilayani dua belas orang, Missionary of Charity berkembang hingga dapat melayani ribuan orang. Bahkan 450 pusat pelayanan tersebar di seluruh dunia untuk melayani orang-orang miskin dan telantar. Ia juga salah satu pionir yang membangun rumah bagi penderita AIDS.


Karena karyanya yang begitu besar di bidang kemanusiaan dan juga
perdamaian,Bunda Teresa menerima Nobel Perdamaian pada tahun 1979, dan penghargaan-penghargaan lainnya. Dalam pidatonya saat menerima hadiah Nobel Perdamaian tersebut, ia berkata :”Tidak cukup kita berkata 'aku mencintai Tuhan', tetapi membenci sesama. Kalau demikian, aku seorang pembohong. Bagaimana saudara dapat mencintai Tuhan, yang tidak dapat dilihat, bila saudara tidak mencintai sesama yang kelihatan, yang dapat dipegang, yang jadi kawan kita dalam hidup bersama?”
Namun kemasyhuran namanya tidak memudarkan cara hidupnya yang sederhana dan penuh cinta-kasih. la berjalan dengan kaki telanjang ke mana saja bila perlu dan tidur di lantai rumah-rumah penampungan orang miskin bersama suster-suster dan novis-novisnya. la makan makanan orang sederhana dan minum air putih. Seperti semua susternya, ia hanya mempunyai dua buah baju sari putih.

Suatu hari di tahun 1986, seorang wartawan mengajukan pertanyaan nakal kepadanya, “Ibu, apakah Ibu takut mati?” Bunda Teresa menatap mata sang wartawan sesaat, lalu bertanya,
“Di mana engkau tinggal?”
“Di Milan.”
“Kapan engkau berencana pulang?”
“Kuharap malam ini, agar Sabtu besok dapat aku lewatkan bersama keluargaku.”
“Bagus, bagus,” kata Bunda Teresa. “Ya, begitulah. Aku pun akan sama gembiranya denganmu jika aku bisa mengatakan bahwa malam ini aku akan mati. Dengan kematian, aku akan pulang. Aku akan pergi ke surga dan berjumpa dengan Yesus, kepada siapa aku telah membaktikan diriku. Segala yang kulakukan di dunia ini aku lakukan demi kasihku kepada-Nya. Karenanya, mati berarti pulang ke rumah. Ribuan orang meninggal dalam pelukanku. Hingga sekarang, sudah lebih dari 40 tahun aku membaktikan hidupku bagi mereka yang sakit dan mereka yang sekarat. Para susterku dan aku membawa mereka dari jalanan ke wisma-wisma kami agar mereka dapat meninggal dalam ketenangan. Banyak dari antara mereka yang meninggal dalam pelukanku, sementara aku tersenyum kepada mereka dan mengusap dahi mereka yang gemetar. Dalam saat-saat yang sulit itu, terjalinlah kasih di antara kami. Siapa tahu, sambutan yang bagaimanakah yang akan mereka berikan kepadaku apabila mereka melihatku nanti?”

Sepanjang tahun-tahun terakhir hidupnya, meskipun mengalami gangguan penyakit yang cukup parah, Bunda Teresa tetap mengendalikan kongregasinya serta menanggapi kebutuhan orang-orang miskin dan Gereja. Pada tahun 1997, para biarawatinya telah hampir mencapai 4000 orang, tergabung dalam 610 cabang dan tersebar di 123 negara dari berbagai belahan dunia. Pada bulan Maret 1997, Bunda Teresa memberikan restu kepada Sr. Nirmala MC, penerusnya sebagai Superior Jenderal Misionaris Cinta Kasih. Setelah bertemu dengan Paus Yohanes Paulus II untuk terakhir kalinya, ia kembali ke Calcutta dan melewatkan minggu-minggu terakhir hidupnya dengan menerima kunjungan para tamu dan memberikan nasehat-nasehat terakhir kepada para biarawatinya.
Pada tanggal 5 September 1997 jam 9:30 malam, Bunda Teresa pun berpulang dalam damai. Jenazahnya dipindahkan dari Rumah Induk ke Gereja St. Thomas, Gereja dekat Biara Loreto di mana ia menjejakkan kaki pertama kalinya di India hampir 69 tahun yang lalu. Ratusan ribu pelayat dari berbagai kalangan dan agama, dari India maupun luar negeri, berdatangan untuk menyampaikan penghormatan terakhir mereka. Bunda Teresa mewariskan teladan iman yang kokoh, harapan yang tak kunjung padam, dan cinta kasih yang luar biasa.

Pada hari Minggu 19 Oktober 2003, Paus Yohanes Paulus II menobatkan Bunda Teresa dari Kalkuta menjadi beata. Pemberian gelar beata adalah pernyataan resmi Paus bahwa orang itu telah mendapat kebahagiaan surgawi. Dengan menjadi beata, secara resmi hanya tinggal satu langkah lagi bagi Bunda Teresa untuk menjadi Santa.

Salah satu hal yang menginspirasi dari Bunda Teresa adalah ia hanya mau mendukung gerakan perdamaian. Mengapa? Karena gerakan anti-kekerasan adalah kekerasan. “Kekerasan itu jelas perbuatan kekerasan dan anti itu sendiri adalah kekerasan karena ada perlawanan,"katanya. Seperti dalam buku The Secret karya Rhonda Byrne halaman 167 yang menyebutkan bahwa gerakan anti-perang menciptakan lebih banyak perang, dan gerakan anti-narkoba justru menciptakan lebih banyak lagi narkoba. Bunda Teresa sendiri pernah mengatakan “ Jika ada demo anti perang saya tidak akan datang. Jika ada demo pro damai undanglah saya.”

Semangat juang Ibu Teresa inilah yang harus tetap kita pertahankan. Pelayanannya yang tulus kepada yang lemah, miskin, dan tersingkir, juga sikap positifnya yang luar biasa, dan kecintaannya terhadap perdamaian, dan bukannya memerangi perang. Itulah ternyata yang menjadi rahasia bagi Ibu Teresa. Beliau sangat mengerti sekali mengenai the law of attraction atau hukum tarik menarik. Kita pun bisa melihat sendiri buktinya, walaupun di tengah-tengah orang sakit, namun Ibu tidak tertular penyakit dan tetap kuat.

Selain itu, di tengah-tengah kehidupannya bersama orang-orang miskin yang serba kekurangan, Ibu teresa juga tidak pernah merasa khawatir akan kekurangan. ”Tidak pernah saya memikirkan soal uang. Uang selalu datang. Tuhan mengirimkannya. Karena kami melakukan karya-Nya. Maka Ia menyediakan sarana. Jika Tuhan tidak memberikan sarana, itu sudah merupakan satu petunjuk bahwa Ia tidak merestui pekerjaan tersebut. Nah, mengapa cemas?”








Let us always meet each other with smile, for the smile is the beginning of love.
Mother Teresa

4 comments:

  1. q sering kali meneteskan air mata bila membaca kisah bundaq yg begitu menyentuh,,,, qq tak tau sejak kapan q mengenlanya,,, tp seingat q,,, bila guru2 ku bertanya siapa idolamu,,, maka q akan menjawab dengan tegas bahwa bunda teresa adalah idola sepanjang hidupq,,,,

    ReplyDelete
  2. terima kasih sudah datang membaca posting ini.. Bunda Teresa adalah idola saya yg secara spiritual sangat menginspirasi.. semoga kita bisa terus meneladan beliau.. berkah dalem :)

    ReplyDelete
  3. sorry gue sempet nangis baca ni kisah..

    ReplyDelete
  4. Terima kasih, Bunda Teresa meneladan Jesus yg selalu taat dan melaksanakan perintah Bapa Surgawi
    Ibu Teresa tak pernah menulis tentang dirinya, sama seperti Jesus, tapi buah perbuatannya dirasakan oleh seluruh dunia
    Tuhan sangat merindukan kita kembali padaNya dengan pelayanan kita pada sesama

    ReplyDelete